Secercah rindu dalam langkah menuntut ilmu
Sore itu aku menelpon mama,
" ma, mama sibuk? Mau telponan "
ujarku melalui pesan singkat dari jauh.
" mama mau masak, boleh telepon sekarang"
Akupun segera menelpon mama, percakapan yang berputar diantara kami terasa begitu hangat seolah kini aku sedang bersama mama menemaninya memasak didapur.
" han dia lagi nyuci piring"
" haha bagus ma "
" iya soalnya anak gadis mama gak ada dirumah, anak laki laki lah yang bantu mama dirumah"
Entah apa yang terpatri didalam hatiku saat itu. Sungguh sangat ingin rasanya berada dirumah bersama keluargaku. Tertawa bersama mereka, melalui hari demi hari dalam hangatnya dekapan keluarga.
Siapa yang tak merindukan semua atmosfer itu? Apalagi untuk seorang perantau sepertiku. Hidup di ibu kota jauh dari orang tua, ditambah lagi aku tak memiliki kerabat baik dari papa atau mama disini, karena kebanyakan keluarga kami berdomisili di sumatra.
Rasa sepi hari demi hari adalah makanan harianku. Aku memang memilih tipe kamar untuk satu orang, papa bilang asalkan aku nyaman papa sanggup in syaa Allah karena rezeki itu Allah yang kasih. Aku sangat terharu dengan pengorbanan mereka berdua hingga aku bisa belajar di universitas impianku.
Mereka tak hanya mengorbankan harta mereka, yang lebih dari itu semua adalah mereka mengorbankan buah hati mereka untuk mereka titipkan ke Allah saja, pergi merantau ke pulau seberang.
Jujur aku beritahukan, kedua orangtuaku tak jarang dihujat dari orang orang. Mereka kerap ditanya mengapa tega melepas anak perempuan satu satunya ke ibu kota. Anak perempuan! Dan satu satunya! Namun aku selalu meyakinkan mereka berdua, apa yang aku lakukan, apa yang aku niatkan, dan berjauhan dari mereka bukanlah untuk sesuatu yang buruk, melainkan adalah untuk sebuah ibadah yang sangat mulia disisi Allah.
Ibadah yang dengannya seluruh makhluk dilangit dan dibumi memohonkan ampun kepada pelakunya.
Ibadah yang dengannya ikan dilaut sampai semut dilubangnya memohonkan ampun baginya.
Ibadah yang dengannya Allah angkat derajat penuntutnya.
Aku sangat paham perasaan mereka berdua. Melepaskanku kemari sungguh sangat berat dan hampir terlihat tak mungkin, namun apa yang Allah takdirkan pasti terjadi, cepat atau lambat. Ah.. kini aku terbawa suasana. Sungguh terkenang kenang olehku bayangan 2 tahun yang lalu saat semua perjalananku ke jakarta dimulai.
" han, jangan cuci satu satu. Letakkan disini dulu baru dicuci semua, kalau enggak nanti airnya boros"
Dari arah sana kudengar mama masih mengarahkan adikku untuk mencuci piring. Lucu saja kalau membayangkan dia melakukan itu, karena biasanya mencuci piring adalah pekerjaanku.
" ibu mau kesini besok" -ibu panggilanku untuk nenek dari mama-
" wah iya ma?? Sayang kali gak lagi di rumah"
Senang mendengar ibu akan berkunjung, namun apa daya aku masih disini. Aku sangat sayang pada ibu, ia adalah sosok idolaku. Ibu berjiwa lembut dan bertatakrama. Aku belajar banyak hal darinya. Ia juga sering menasehatiku, terlebih lagi (dahulu) aku masih sering berkelahi dengan adikku. Ia juga tak lupa menelponku tatkala kemarin aku sempat terbaring dirawat dirumah sakit.
"Buah buahan semua sedang berbuah, kelengkeng, sawo, jambu apa lagi. Mama gak bisa bungkusin semuanya , akhirnya dua ember besar jambunya dibuang karena busuk"
" iya ya ma kalau gak di bungkus dimakan ulat"
" iya udah lebat kali. Kemarin papa bawa untuk teman temannya dihotel, udah kasih ami juga, dan masih ada sisanya. Ibu kesini karena jambu itu"
" haha iya lah ya"
Tadinya aku yang bercerita tentang keadaanku disini, namun sepertinya mendengarkan kabar kabar dari mama tentang rumah lebih menarik hatiku.
" ha, gimana kabarnya?"
Suara yang sudah sangat tak asing ditelingaku.
" papa.. alhamdulillah udah baikan, tapi ya kayak biasa masih demam kalau malam, gak panas banget kok"
Papa baru pulang kerja rupanya, mendengar suara dari arah dapur, papa jadi tahu aku dan mama sedang bertelponan.
Aku tak dapat mengatakan betapa bahagianya aku saat itu. Walau jauh jarak yang terbentang di antara kami, namun kasih sayang, perhatian dan cinta mereka membuatku merasa begitu dekat. Seketika aku ingat sebuah syair yang baru saja aku pelajari di kampus.
Mata kuliahnya adalah balagoh
Begini bunyinya:
كذاك الشمس تبعد أن تسامى # و يدنو الضوء منها والشعاع
Benar adanya tak semua yang jauh itu tak kita rasakan keadaannya.
Bagaikan sang surya yang menjauh di angkasa sana, namun cahaya dan sinarnya terasa begitu dekat hingga ke kulit kita
" gini kan enak, ada yang temani mama masak, cerita cerita kita. Ya sekarang mama gak ada anak gadisnya yang temani, nanti kalau dah nikah diambil pula sama suaminya lagi"
" mama, jangan ngomong gitu, sedih dengarnya "
" iya kan benar"
Aku akui, sampai orangtuapun yang telah melahirkan kita, merawat kita dari kecil, tak akan bisa berasumsi bahwa anak kita adalah milik kita. Karena suatu hari dia akan pergi dengan suaminya. Bahkan suaminya! Tak akan bisa berasumsi istrinya adalah miliknya, karena suatu hari nanti ia akan meninggal diambil Penciptanya.
Aku sangat memahami perasaan itu. Perasaan ketika Allah titipkan kita suatu nikmat yang begitu dan sangat kita cintai, hingga kita lupa bahwa ia hanya titipan dariNya. Disaat itu pula Allah akan mengingatkan kembali hamba hambaNya. Sadarlah bani adam, ini semua adalah titipan, sekedar titipan.
Rumah yang kini engkau tempati, tak akan selamanya engkau disana untuk tinggal.
Motor atau mobil yang engkau kendarai, tak akan engkau bawa itu sampai ke lahatmu.
Teman yang menemani hari harimu, tak akan selamanya ada disampingmu, suatu saat ia akan berbalik pulang meninggalkan pusaramu.
Semuanya adalah titipan Allah.
Dan tatkala titipan itu diambil kembali oleh pemiliknya, maka sebaik baiknya jalan keluar adalah bersabar.
Pupuklah didalam hati husnudzon kepada Allah.
Sirami hati dengan penuh rasa ikhlas dan ridho kepada takdirnya.
Hiasilah waktu demi waktu menanti kejutan dari Allah dari arah yang tidak kita sangka sangka.
Memang seperti itulah sepatutnya kehidupan seorang muslim. Menanam bibit, memeliharanya, lalu memanennya.
Sebagaimana perkataan penyair
من يزرع يحصد
Barang siapa yang menanam, maka ia yang memanen
Kali ini handphone mama ditangan papa. Aku tak mengerti setelah pembicaraan yang begitu lama aku baru terpikirkan untuk video call. Rasanya kurang puas hanya mendengar suara mereka dari sini. Aku segera meminta papa menunggu sebentar agar aku telpon kembali.
Terlihatlah disana papa sedang didapur bersama adikku.
" papa lagi ngaduk gulai mama ni"
Hehe aku lihat papa berada dekat dari kompor dan memegang spatula. Di samping beliau adikku masih mencuci piring.
" mama mana pa? "
" mama lagi ke kebun di belakang ambil daun ruku ruku"
Tak lama aku lihat mama masuk kembali ke dapur. Kini hanphone diambil alih oleh adikku.
" han, kakak mau lihat karin sama gray- nama nama kucing peliharaanku- "
Diapun berjalan ke arah taman, sambil bercerita tentang hasil uts nya kemarin.
" tidurnya masih seperti yang dulu. Lucu"
Setidaknya aku sudah melihat beberapa sudut rumahku hari ini. Begitu senang rasanya.
" kak ini udah mau habis baterai nya, dicas dulu ya"
" ooh iya.. "
Begitu percakapan kami terhenti, aku kembali mengingat ingat perkataan mama. Aku langsung membuka note dan menuliskan beberapa yang kuingat.
Sangat ingin rasanya berbagi dengan yang lain.
Kepingan kisahku yang semoga memberikan ibroh dan manfaat bagi yang membacanya. Berbagi dengan kumpulan tulisan sederhana.
Dibawah langit ibu kota, dalam sepi, aku memanggil nama mereka.
Ma.. pa.. aku merindukan kalian
Jakarta 21 oktober 2018
Aozora.F
Komentar
Posting Komentar